“Sungguh
beruntunglah orang yang senantiasa membersihkan jiwanya dan sungguh merugilah
orang yang senantiasa mengotori jiwanya” (Qs. Asy-syams (10) ayat 9)).
Kebahagiaan dan kedamaian insan bergantung pada kebersihan
jiwanya. Karna, kecenderungan- kecenderungan fitrawi manusia tersembunyi di
dalam diri dan jiwanya yaitu berupa sebuah potensi. Dan dengan jalan
membersihkannya dari berbagai noda dan dosa maka, akan tersingkaplah hal
tersebut dan akan selalu aktif dan menjadi sumber terpancarnya segala
kebajikan.
Dengan ibarat lain, bahwa jiwa manusia -dengan segala
karakteristik fitrawinya yang Allah SWT anugerahkan kepada manusia- adalah
seperti mata air yang memancar -yang mana kebersihan dan kesuciannya mampu
menghampas segala rintangan yang ada- dan jernih serta menjadi sumber
kehidupan dan wasilah dalam mencapai keutamaan-keutamaan dan kesempurnaan manusia.
Dan juga mengantarkan manusia menuju lautan kesempurnaan dan keramat Ilahi
serta kebahagiaan yang tak terhingga.
Sebaliknya, menodai dan mengotori mata air (jiwa) yang
memancar ini dengan cara melakukan berbagai tindakan dan perbuatan dosa maka,
hal ini akan merubah kondisi jiwa sehingga yang muncul tidak lain adalah
tindakan dosa, putus asa, sengsara dan derita.
Hakikat ini nampak jelas dalam ayat yang disebutkan di atas;
karna ‘zakkaahaa‘ asal kata dari ‘zakawa’ dan ‘zakaau’ yang berarti tumbuh
berkembang dan menjadi banyak.
Dan juga dimaknai thaharah, bersih
jika maknanya dikaitkan dengan jiwa manusia. Mungkin dimaknai seperti ini
karna, suci dan bersih dari berbagai kotoran jiwa menjadi penyebab jiwa manusia
tumbuh dan berkembang.
Adapun kata ‘dassaahaa’
asal katanya dari ‘dassa’ yang
bermakna menyembunyikan dan memasukkan sesuatu dengan maksud menyembunyikannya,
sebagaimana yang disebutkan Alquran ketika berbicara tentang penguburan
hidup-hidup bayi wanita oleh kaum Arab jahiliyah:
Qs. An Nahl ayat 59: “am
yadussuhu fii atturaab” yakni “atau
menyembunyikannya (bayi) di dalam tanah”
Jadi, tadzkiyah
mempunyai makna bersih, suci dan tumbuh berkembang, dan tadassaa berarti noda , kotoran, menyembunyikan dan dosa.
Dari aspek lain, kata ‘falaah’
mempunyai makna mencapai sesuatu yang baik dan kebahagiaan. Sebaliknya, kata ‘khaibah’ berarti tidak sampai dan tidak
mencapai sesuatu yang baik, putus asa, dan maksiat.
Faktor-faktor pembersih jiwa
Setelah makna tadzkiyah
nafs menjadi jelas- sampailah pada pembahasan faktor-faktor pembersih
jiwa. Dan banyak faktor-faktor yang bisa mempercepat proses dalam membersihkan
jiwa dan tadzkiyah nafs. Misalnya ibadah-ibadah, amal saleh, sedekah, dan lain
sebagainya; ini semua bisa menjadi lahan dalam penyucian jiwa insan.
Di sini akan dijelaskan dan diperkenalkan -dengan
menggunakan ayat-ayat Alquran- dua faktor penting dalam penyucian jiwa:
1. adanya tanggapan positif terhadap anugerah Ilahi yaitu sifat fitrawi.
Allah SWT berfirman:
Qs. As-Syams ayat 7-9: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) , maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah
orang yang menyucikan jiwa itu”
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah SWT menciptakan
jiwa manusia dan menganugerahinya dengan sifat
fitrawi, yang dengan sifat ini manusia mampu membedakan antara yang suci
dengan yang tidak suci, dan manusia mampu memahami betapa tinggi dan indah
nilai taqwa dan betapa rendah dan hina dosa dan kejahatan.
Dari kaitan dan hubungan ayat-ayat ini, maka dapat diambil
konklusi bahwa sifat fitrawi yang ada
dalam jiwa dan diri manusia ibaratnya seorang nabi batin (pembimbing ruhani). Dan adanya tanggapan positif
terhadap hal itu bisa menjadi factor-faktor penyuci jiwa. Karna, selama konsep
(tasawwur) ‘buruk’ dan ‘taqwa’ tidak ada, maka mustahil bisa
membuktikan (tashdiq) sesuatu itu bagus atau jelek dan juga manusia tidak akan
bisa menemukan cara dalam memilih dan memilah jalan yang terbaik.
Hal ini hanya bisa terwujud jika peluang bergabung antara tasawwur dan tashdiq dengan ilham Ilahi (sifat fitrawi) itu tersedia dan
terbuka.
Betapa banyak kata ganti (pronoun/dhamir) nafs yang kembali ke ‘fujuur’ (buruk) dan juga ke ‘taqwa’ dalam ayat ini: ‘fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa’.
Sepertinya inilah catatan yang paling penting yang harus kita perhatikan yaitu
selain Allah SWT menganugerahkan kepada manusia kemampuan untuk memisahkan
antara taqwa dan tidak taqwa, juga Allah SWT mengilhami manusia berupa
kemampuan dalam menilai bahwa betapa indah dan cantiknya ketaqwaan itu dan
betapa buruk dan jeleknya perbuatan dosa itu. yaitu selain Allah SWT telah
menyempurnakan ilham-Nya pada tahapan tashawwur,
Allah SWT juga telah menyempurnakan ilham-Nya pada tahapan tashdiq.
2. adanya tanggapan positif terhadap ajakan para nabi dan
utusan Allah SWT.
Allah SWT berfirman Qs.Al Jumuah ayat 2:“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka
dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Maksud dari pada tadzkiyah
adalah menghiasi diri dengan amalan-amalan saleh dan akhlak hasanah (baik),
yang mana itu semua adalah buah dari mendengarkan panggilan-panggilan Ilahi
melalui Nabi dan utusan Allah SWT serta merta ketaatan kepada-Nya.
Hakikat ini juga telah dijelaskan dalam surat Abasa,
dimana datang dan duduk di depan Nabi saw dan mendengarkan nasehat-nasehat
beliau adalah lahan yang sangat membantu dalam proses penyucian jiwa.
Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam surat Abasa ayat 3: “wa maa yudriika la’allahu yazzakka” yaitu: “Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)”.
Demikian juga mengenai pengutusan Nabi Musa as kepada
Firaun, adalah dianggap bahwa itu peluang dan jalan bagi Firaun untuk
menyucikan jiwa dan dirinya, Qs An Naziaat ayat 17 dan 18: “datang dan temuilah Firaun karna dia telah melampaui batas. Dan
katakanlah kepada dia apakah kamu ingin menyucikan jiwa dan diri?
Faktor-faktor Kehancuran Jiwa
Sebagaimana halnya faktor-faktor pembersih jiwa itu
bermacam-macam dan mempunyai banyak bentuk, maka faktor-faktor yang bisa
menghancurkan jiwa juga bermacam-macam. Diantaranya seluruh perbuatan dosa dan
maksiat, tukang catut (mengambil keuntungan yang berlimpah), menentang
perintah, menganggap diri paling baik dan sebagainya, ini semua adalah
faktor-faktor yang bisa merusak jiwa. Dalam kesempatan ini kami akan
memperkenalkan dua faktor terpenting yang menjadi akar dari seluruh
factor-faktor yang disebutkan di atas:
1. cinta dunia
Allah SWT berfirman Qs. A’laa ayat 14 sampai 16:“sungguh beruntunglah orang yang senantiasa
membersihkan jiwanya dan senantiasa menyebut nama Tuhan serta mendirikan salat.
Akan tetapi (kalian) lebih memilih kehidupan dunia”.
Dari ayat ini dapat digunakan bahwa sebagaimana halnya tadzkiyah bisa menjadi penyebab
kebahagiaan dan kemenangan, maka cinta
dunia juga bisa menjadi penyebab jiwa hancur dan kotor oleh dosa dan
kelalaian dari mengingat Allah SWT. Di satu sisi, hakikat ini merupakan bentuk
kebalikan antara tadzkiyah dan mengingat Allah SWT dengan memilih kehidupan
dunia. Dan dari sisi lain, merupakan kebalikan dari kehidupan dunia dengan
akherat. Sebagaimana yang diisyaratkan ayat berikut Qs Al A’laa ayat 17: “dan kehidupan akherat itu lebih baik dan
lebih abadi dan kekal”
Karena itu, jelaslah bahwa
orang yang terkungkung dan terkurung dalam cinta
dunia maka, dia akan lupa dari mengingat Allah dan dari segala bentuk
kebaikan dan kebajikan yang pada akhirnya akan menghasilkan buah yaitu berupa
kelalaian dalam melaksanakan shalat dan dzikir serta lalai terhadap adanya hari
akhirat.
2. tamak dan rakus (syuhha nafs)
Allah SWT menyebut-nyebut kaum Anshar -yang telah membantu
dan berkorban untuk kaum Muhajirin- sebagai orang-orang yang beruntung. Allah
SWT berfirman Qs. Al Hasyr ayat 9: ”Dan
orang-orang yang telah menempati Kota
Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung”
Syuhha nafs mempunyai makna bakhil yang disertai dengan rakus atau loba, serakah apabila dalam bentuk biasa. Nah, dengan penjelasan
ini, maka dapat diambil sebuah konklusi bahwa apabila nafs jauh dan terjaga
dari perbuatan syuhha nafs maka, akan
menyebabkan nafs itu tentram dan beruntung serta suci (sebagaimana yang
dijelaskan ayat diatas), maka syuhha nafs
dan loba, serakah, rakus akan menjadi
factor dan media yang akan merusak dan mengotori jiwa. Dan menjauhi sikap
rakus, serakah dan loba merupakan salah satu ciri orang-orang saleh dan suci.
Sebaliknya syuhha nafs adalah ciri
orang-orang yang kotor jiwa dan hatinya.
3. tadzkiyah yang negatif
Di dalam Alquran, orang-orang mukmin menjauhi sebuah model
dan format tadzkiyah. Bentuk dan model tadzkiyah tersebut -kami menyebutnya
sebagai format tadzkiyah negatif- pada dasarnya mempunyai makna yaitu
menganggap diri suci, mulia serta terpuji.
Sebagian orang yang mempunyai perangai buruk dan amoral,
selain menghindar dari melakukan tadzkiyah nafs secara hakiki, mereka sibuk
memuji dan memuja diri sendiri dengan penuh ke-ujub-an dan takabbur serta menganggap bahwa dirinya telah
tersucikan dan dirinya telah memiliki kesucian ruhani. Sebagaimana sebagian
dari mereka menganggap bahwa dirinya itu bagian dari keluarga Tuhan. Mereka
berkata, Qs. Al Maidah ayat 18 “kami
adalah anak-anak Tuhan dan kami adalah kekasih-kekasih- Nya”
Dan atau mereka menganggap bahwa dirinya tidak akan pernah
disentuh oleh api neraka: mereka mengatakan Qs. Al Baqarah ayat 80 “Api neraka tidak akan pernah menyentuh kami
kecuali hanya beberapa hari saja”
Allah SWT sangat menyalahkan dan mengutuk model tadzkiyah
seperti ini, sebagaimana yang difirmankan- Nya Qs. An Najm ayat 32 “janganlah sekali-kali engkau memuji-muji
dan menganggap suci dirimu sendiri”
Qs. An Nisa ayat 49 ”Apakah
kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki- Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun”
Tentunya sangat jelas bahwa penyucian diri seseorang adalah
bersumber dari Allah SWT yang dilandasi oleh hikmah Ilahi dan dengan takaran
bahwa orang tersebut layak memperolehnya. Oleh karna itu, di akhir ayat
disebutkan bahwa tidak satu orang pun akan terzalimi.
Husnul khitam
Orang-orang yang memiliki hati dan jiwa suci dalam keimanan
kepada Allah SWT akan selalu sukses dalam melaksanakan beban taklif yang Allah
perintahkan kepada mereka dan balasan mereka tidak lain adalah Surga yang
abadi. Sebagaimana Allah SWT berfirman: Qs. Thaha ayat 76: “(yaitu) surga `Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka
kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari
kekafiran dan kemaksiatan)”
(Sultan Noer, Alumni Pesantren Al Qur’an Babussalam Bandung. Sekarang sedang
menempuh studi di Iran)